Dilemma Karena Covid-19

Oleh : Susiani SPd

PANDEMI covid-19 atau Virus Corona  menciptakan menciptakan pilihan-pilihan yang kadang dilematis. Kita kadang mesti memilih satu di antaranya. Kita kadang memprioritaskan satu pilihan dan menunda yang lainnya.

Akan tetapi, kita kadang harus tetap memilih pilihan-pilihan itu secara berbarengan, tidak boleh meninggalkan salah satunya. Pandemi Corona memaksa kita mendefinisi ulang tentang berbagai hal yang sebelumnya kita anggap mapan, tak tergoyahkan.

Berikut dilema karena Covid-19:

Presiden Jokowi membedakan pulang kampung dan mudik.

Dalam makna leksikalnya, makna berdasarkan kamus, mudik ialah pulang ke udik, ke kampung halaman.

Akan tetapi, dalam makna pragmatisnya, mudik ialah pulang ke kampung halaman untuk merayakan Lebaran. Itulah sebabnya Kamus Besar Bahasa Indonesia mencontohkan penggunaan kata mudik dengan kalimat ‘Seminggu sebelum Lebaran sudah banyak orang mudik’. Pulang ke kampung halaman untuk merayakan Natal, misalnya, jarang disebut mudik. Dalam makna pragmatis yang lain, dalam makna kontekstualnya, pulang kampung, seperti kata Presiden, ialah kembali ke kampung halaman karena ketiadaan pekerjaan di perantauan akibat pandemi covid-19. Presiden perlu meredefinisi mudik atau pulang kampung ini supaya tidak keliru mengambil kebijakan. Pemerintah mengimbau tidak pulang kampung, tetapi melarang mudik. Berdasarkan aturan, mereka yang pulang kampung dari Jabodetabek mulai 24 April dianggap mudik.

Dulu ada adagium ‘bangunlah lebih banyak sekolah supaya kita tidak perlu membangun banyak rumah sakit dan penjara’. Asumsinya, orang pintar semestinya pintar juga menjaga kesehatan dan tidak berbuat kriminal. Ternyata banyak orang pintar menderita sakit. Ada data yang menunjukkan yang terjangkit covid-19 kebanyakan kelas menengah. Banyak orang pintar jadi pesakitan, penghuni penjara. Sebagian besar koruptor lulusan universitas. Covid-19 mengubah adagium itu menjadi ‘bangunlah lebih banyak rumah sakit, tidak perlu bangun banyak sekolah dan penjara karena kita bisa belajar secara daring dan para narapidana dibebaskan’.

Kelas menengah mengalami dilema tersendiri. Mereka lebih dulu ’dirumahkan’ bahkan diberhentikan karena korona sehingga penghasilannya berkurang atau tidak berpenghasilan sama sekali. Mereka malu ketika hendak mendaftar sebagai penerima bantuan sosial. Pun, belum tentu orang percaya bahwa mereka termasuk yang membutuhkan bantuan sosial. Para kelas menengah ini mencoba menambah penghasilan dengan berjualan secara daring. Mereka kini punya keterampilan berbisnis secara daring. Mereka menjual buku-buku lama, perabotan tak terpakai, termasuk bila pandemi covid-19 berlangsung lama, menjual perhiasan simpanan, televisi, kulkas, sepeda motor, mobil.

Seorang teman bercerita sahabatnya hanya beribadah ketika di rumah. Ketika berada di luar rumah dia tidak beribadah. Saya membayangkan banyak orang, terutama laki-laki, mempraktikkan ini. Saya membayangkan karena anjuran bekerja dari rumah, mereka ‘terpaksa’ rajin beribadah di rumah untuk memberi teladan kepada istri atau suami serta anak-anak. Semoga saja setelah covid-19 mereda, mereka terus beribadah, baik di rumah maupun di luar rumah.

Banyak yang mendorong pemerintah tegas menindak secara hukum pelanggar PSBB. Tanpa tindakan hukum, pelanggaran PSBB terjadi di mana-mana. Namun, bila pelanggar PSBB didenda, bagaimana mereka membayarnya di tengah kesulitan ekonomi sekarang ini. Bila mereka dihukum kurungan, yang dipenjara saja dibebaskan. Yang diperlukan ialah kesadaran dan ketegasan. Masyarakat semestinya sadar tidak mudik, misalnya. Ketegasan tidak mesti berupa tindakan hukum. Aparat tegas meminta angkutan umum yang membawa pemudik untuk berputar balik, misalnya.

Editor : Adeni Andriadi

Komentar