TALIABU – JKN.
Tawallani Djafaruddin, SH.,MH (Kuasa Hukum Masyarakat Korban Penggusuran di Desa Nggele dan Desa Natangkunin) Dalam rangka proyek pembangunan yang dilakukan pemerintah daerah, biasanya sebagian tanah dan bangunan warga memiliki kemungkinan untuk terkena penggusuran. Alasannya, pengadaan tanah untuk pembangunan jalan yang merupakan jalan umum, memang termasuk dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Secara umum, pembebasan lahan ini diatur sebagaimana terdapat dalam Pasal 10 huruf b Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Namun demikian, pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil sebagaimana termuat dalam Pasal 9 ayat (2) UU 2/2012, beber Tawallani.
Kemudian menurutnya, penilaian besarnya nilai ganti kerugian atas tanah yang terkena pengadaan tanah untuk kepentingan umum ditetapkan oleh penilai. Penilai ini ditetapkan oleh Lembaga Pertanahan. Pada akhirnya, nilai ganti kerugian yang dinilai oleh penilai merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum.
Perlu saya jelaskan bahwa Penentuan bentuk dan besarnya ganti kerugian dilakukan dengan musyawarah antara Lembaga Pertanahan dalam hal pengadaan tanah dengan pihak yang berhak dalam waktu paling lama 30 hari, sesuai dengan Pasal 37 ayat 1 UU 2/2012. Pihak yang berhak adalah pihak (masyarakat) yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah, setelah itu, hasil kesepakatan dalam musyawarah yang dimuat dalam berita acara kesepakatan menjadi dasar pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak.
Jadi, selama belum ada kesepakatan mengenai ganti kerugian dan belum ada pemberian ganti kerugian, kita tidak wajib melepaskan tanah milik kita tersebut apalagi sudah sampai digusur, imbuh Tawallani.
Di Taliabu ini, sangat miris. Lahan dan Tanaman Masyarakat yang menjadi mata pencahariannya di gusur tanpa adanya ganti rugi terlebih dahulu, jangankan ganti rugi, musyawarah saja antara pemerintah daerah dan masyarakat pemilik lahan dan tanaman tidak ada sama sekali.
Bagaimana mungkin daerah ini bisa maju kalau perilaku pemerintah daerah yang notabenenya sebagai pelayan masyarakat berbuat semaunya sendiri dan selalu bersikap apatis terhadap kepentingan dan hajat hidup masyarakatnya. Kesal Tawallani.
Perlu saya sampaikan, Kedepan cara-cara demikian harus kita rubah karena hanya menambah beban masyarakat. Undang-undangnya sudah jelas, prosedurnya juga jelas lalu kenapa selalu dilanggar.
Kami menduga roda pemerintah daerah kabupaten pulau taliabu ini dikelola oleh orang-orang yang tidak berkompeten dibidangnya masing-masing, yang akhirnya menjadi beban daerah dan banyak menghabis-habiskan uang rakyat.
Untuk diketahui, bahwa lahan dan tanaman masyarakat yang digusur baik di desa Nggele ataupun Desa Natangkuning ini sudah cukup lama yaitu sejak tahun 2016 dan 2018, untuk badan jalan di Desa Natangkuning sendiri sudah sering dilalui oleh pemerintah daerah (Bupati), namun sangat disayangkan sampai saat ini, belum juga ada kepastian kapan akan diganti rugi.
Sebagai Kuasa hukum masyarakat terkena dampak penggusuran baik masyarakat desa nggele dan desa natangkuning, sampai dengan waktu yang kedua kalinya dijanjikan oleh pemerintah daerah yaitu bulan november 2019 tidak juga diganti rugi lahan dan tanaman yang digusur, maka dengan terpaksa akan kami boikot kantor bupati dan akan kami lakukan upaya hukum baik pidana ataupun perdata, tegas Tawallani.
Reporter : Rjk
Komentar