Berita Jejakkasusnews.co.id
Oleh: Danu Budiyono.
Kader Forum Peduli Bangsa.
Banyuwangi – Kabar desas desus ingin majunya istri bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas (A3) yaitu Ibu Ipuk Fiestiandani (Ipuk) dipilkada 2020 mendatang meneguhkan indikasi keluarga A3 sedang membangun dinasti politik banyuwangi.
Padahal kapasitas dirinya dengan istrinya jelas-jelas berbeda.
A3 mungkin mampu mengemban amanah menjadi bupati Banyuwangi selama hampir dua periode, Tetapi sulit untuk yakin jika istrinya pun nanti mampu melakukannya.
Hal yang mungkin mnjadi alasan majunya ibu ipuk adalah demi melanggengkan kekuasaan A3 di banyuwangi.
Kalau pun ibu ipuk maju dipilkada mendatang memang belum bisa dikatakan politik dinasti. Sebab, dinasti politik berlaku apabila dilanjutkan oleh anak atau adek dari petahana. Tetapi indikasi dinasti politik itu tetap ada karena berasal dr satu kelompok keluarga besar.
Secara hukum memang tidak bermasalah, tetapi dinasti politik menjadi persoalan apabila dilihat dalam pendekatan demokrasi. Sebab, dinasti politik akan membatasi partisipasi dan kaderisasi dari putra daerah maupun kader partai politik.
Budaya politik dinasti harus dihindari, karena kalau gagal, kegagalan itu akan berlarut-larut.
Selain juga terkesan ada upaya untuk menutup demokratisasi di banyuwangi.
Kondisi ini memang cukup mengkhawatirkan, bukan hanya karena keluarga ikut menggantikan.
Namun ekses negatif dari hasrat berkuasa yang sering menimbulkan persoalan di ruang publik.
Alih-alih berkompetisi secara adil dan terbuka, proses pencalonan hingga pemenangan justru menggunakan beragam cara asal keluarga berkuasa.
Tidak jarang pula, dinasti politik melahirkan korupsi yang melibatkan keluarga.
Beberapa kasus korupsi yang mengemuka justru terkait dengan dinasti politik, misalnya
Di Provinsi Banten, kasus Ratu Atut Chosiyah yang melibatkan adiknya, menunjukkan betapa kentalnya kekuasaan dinasti politik di Banten.
Di Cimahi, Jawa Barat, Wali kota Cimahi (2012-2017) Atty Suharty bersama suaminya menjadi tersangka kasus penerimaan suap proyek pasar Cimahi. Sang suami, Itoc Tochija, merupakan wali kota Cimahi selama dua periode.
Kemudian di Klaten, Jawa Tengah, Bupati Sri Hartini (2016-2021), terkena operasi tangkap tangan KPK karena diduga melakukan jual beli jabatan. Kepemimpinan Sri ini juga tidak lepas dinasti politik yang dibangun suaminya, mantan bupati Haryanto Wibowo (2000-2005).
Beberapa contoh kasus di atas menunjukkan rentannya dinasti politik terhadap kasus korupsi. Pengambilan kebijakan dalam lingkaran kekuasaan lebih banyak dipengaruhi relasi kekeluargaan, daripada berjalannya sistem.
Adapun sistem yang dibangun terabaikan oleh kepentingan keluarga dalam pengumpulan pundi pundi ekonomi.
Namun, selain itu perlu juga dilihat relasi antara sistem pemilihan dengan biaya politik yang menyebabkan dinasti politik tumbuh subur dan kaitannya dengan biaya politik pemilihan.
Memang politik bukan bisnis, ketika setiap pengeluaran (modal) akan dihitung sebagai penganti keuntungan yang akan diperoleh.
Masalahnya, biaya politik yang sudah digunakan tentu akan dihitung sebagai modal yang harus kembali beserta laba dari setiap pengambilan kebijakan. Di sinilah awal korupsi muncul.
Dinasti politik tumbuh subur dan cenderung tidak adil, juga dipengaruhi sistem pemilihan yang tidak adil pula..
Untuk mencalonkan kepala daerah, mesti didukung minimal partai politik yang memperoleh 20% kursi DPRD atau 25% suara.
Apalagi dengan terbukanya ruang untuk borong dukungan, setiap calon kepala daerah berlomba mendapat seluruh dukungan partai dengan harapan akan lebih mudah memenangkan pemilihan karena hanya melawan kotak kosong.
Besarnya syarat dukungan ini menjadikan “harga” setiap kursi menjadi mahal.
Di sini, mahar politik bermain dalam pencalonan.
Pasti bukan uang yang sedikit untuk mendapatkan dukungan itu, meskipun dalam beberapa kasus khusus justru diberikan secara cuma-cuma.
Akibatnya, selain politik menjadi berbiaya tinggi, proses pemilihan kepala daerah hanya akan bisa diakses oleh mereka yang memiliki modal uang mumpuni.
Padahal sebenarnya inti dari demokrasi itu memberikan ruang seluas-luasnya kepada masyarakat dari latar belakang apa pun, apakah dia dari kalangan elite atau rakyat biasa supaya bisa berpartisipasi baik sebagai pemilih maupun orang yang dipilih. Dengan adanya politik dinasti itu justru mengingkari makna demokrasi itu sendiri.
Dalam pendekatan teoritis bahwa dinasti cenderung korup terkonfirmasi lewat diktum Lord Acton yang mengatakan ‘power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely’ rupanya masih relevan sampai hari ini.
“ Dan Kekuasaan yang mutlak menjadikan seseorang berbuat korupsi, inilah fakta yang terjadi sekarang kecenderungan dinasti politik korup ”
Oleh karena itu butuh campur tangan kita smua agar masyarakat sadar apa makna demokrasi dan apa bahayanya politik dinasti, jangan sampe malah menghantuinya.
*#PilkadaBanyuwangi*
*#TolakPolitikDinasti*
Komentar