SHOCK THERAPY, ALLERGY DAN SERTIFIKASI

Oleh :

Sudarman Kepala SMPN 1 cluring
Sekretaris PGRI Kab.Banyuwangi

BANYUWANGI – JKN.
Ada istilah medis yg eksekusinya ‘sadis’ yaitu dengan menyetrum otak pasien menggunakan listrik yang dinamakan *Electric Shock Teraphy* yg lebih kita kenal dgn sebutan shock therapy.

Belakangan kata shock therapy cukup populer di gunakan di media masa yang mengkonotasikan suatu lecutan atau cambukan untuk membangunkan orang atau institusi yang ‘adem ayem’ dalam melakukan penyimpangan atau kelalaian yang berlarut larut, bahkan mereka menganggap bhwa yg mereka lakukan adalah kebenaran.

Apa hubungannya dgn sertifikiasi?
Penjelasanya ada di bagian ketiga tulisan ini,sesuai dgn judulnya bhwa sertifikasi di uturan ke tiga

Namun di akui apa tidak diakui, di sadari apa tidak disadari, bhwa shock therapy ini menjadi senjata manjur bagi pemerintah untuk membuat *efek kejut* bagi para guru yang sedang merasa nyaman di ‘zonanya’

Dalam fenomena bahasa selanjutnya ada lagi istilah Allergy.

Kata yg satu ini menjadi jargon medis yang bermakna kepekaan abnormal terhadap sesuatu zat.

Namun belakangan dalam dunia media, baik itu media elektronik maupun media sosial kata ini beralih makna menjadi penggambaran pada situasi dan kondisi yg enggan berubah dan takut pada perubahan walaupun demi perbaiakan dan peningakatan mutu kinerja lembaga.

Selanjutnya marilah kita cermati bersama apa yg terjdi di pacitan belakangan ini.

Wajah muram dan duka menyelimuti dunia pendidikan setelah ada temuan dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa ada sekitar 400 guru dan kepala sekolah yang harus mengembalikan dana Tunjungan Profesi Guru (TPG) karena ditemukan mengikuti Pendidikan dan pelatihan (Diklat) di luar daerah,sehingga mereka tidak dapat memenuhi ambang batas jam mengajar yg ditentukan untuk memperoleh TPG.

Pengembalian dana TPG ini bervariasi mulai 15 juta hingga 40 juta sesuai dengan besaran yg mereka terima.

Kondisi ini dipertajam dengan keluarnya surat edaran dari Cabang Dinas Pendidikan Prop.Jatim wilayah Kota Madiun yg membawahi wilayah Kota Madiun,Kab.Madiun dan Kab.Ngawi No.005/1612/101.6.16/2019 tanggal 21 Juni 2019 perihal edaran libur sekolah.

Dalam surat edaran tersebut di cantumkan dasar pemikirannya pada PP 11 tahun 2017 dan Peraturan BKN no 24 tahun 2017.

Singkatnya ASN guru yg bertugas di sekolah dan ASN dosen yg betugas di perguruan Tunggi jika mengikuti libur semester murid dan mahasiswanya maka mereka disamakan sudah mengambil cuti tahunan.

Sehingga jika para guru dan dosen ingin tetep mendapatkan haknya yaitu TPG dan TPD harus mengikuti regulasinya salah satunya melengkapi kehadiran dgn finger print tadi.

Efek kejut atau shock terapi ini mewajibkan kita jika mendapat tugas di luar daerah dgn tidak bisa melakukan “face detector atau finger print” harus berbekal surat tugas dari atasan langsung kita.

Saya sebagai kepala SMP negeri 1 Cluring adalah satu dari sebagian kecil dari kepala SMP negeri di Kab.Banyuwangi yg lumayan sering mengabil sikap dan kebijakan tidak populis dengan membuat efek kejut pada guru2 di sekolah saya untuk melecutkan motivasi kenerja dan kreasi pembelajaran yang pada kondisi tertentu sampai menyentuh di wilayah “kesejahteraan” yang menjadikan wajar jika akhirnya terjadi ” perlawanan”

Akhirnya saya ingin menyampaikan kepada seluruh guru di Indonesia khususnya Guru2 dan anggota PGRI Kab.Banyuwangi untuk bersma2 melengkapi diri dengan referensi dalam menjalankan tupoksinya sehingga akan menjadi terbiasa jika ada perubahan regulasi dan kebijakan jangan hanya mengandalkan selera dan rasa sehingga menjadi *shock* jika akhirnya kita berhadapan dgn perubahan.

Sebagai penutup saya ingin menyampaikan ceramah Guru saya jaman saya belajar ngaji dulu, yang saya ingat begini :

Anak dan istri Nabi Nuh As,meninggal dalam keadaan kafir tidak mengikuti ajakan Nabi Nuh bukan karena Nabi Nuh yg tidak mampu mengajak,tetapi karena Allah berkehendak seperti itu.

Abu Tholib paman tercinta Nabi Muhammad meninggal dunia belum sempat mengucap syahadat bukan Nabi Muhammad yg tidak mampu, tetapi mmng takdirnya Abu Tholib seperti itu.

Pesan moralnya adalah bukan kesalahan mutlak pada pemimpin jika masih ada bawahan yg terkena dampak “neraka” ,namun memang masih ada juga “umat” yg berjiwa Abu Tholib

Beliau juga meng – umpama – kan sikap hidup menjadi 3 tipe seperti di bawah ini :

Tipe Malaikat akan selalu menuruti kata “atasannya” ( Allah) apapun perintahnya

Manusia akan mengerjakan perintah atasanya jika mmng kebaikan,dan akan menjauhi jika dalam larangan

Setan akan tetep melawan perintah meski itu dalam kebaikan.

Marilah kita memilih tipe yang memantaskan kita sebagai manusia. Aamiin ya rabbal aalamiin. ( * )

Publisher : Teddy

Komentar