KEMATIAN GURU IKA WIDIASTUTISEBUAH TEGURAN TUHAN

Poto: Mochammad
Rifai

BANYUWANGI – JKN.
Selasa, 09/04/19.Tidak ada yang bisa dan sanggup melawan takdir. Benar memang, tapi ada kalanya ranah ikhtiar kurang optimal atau faktor lain termasuk keteledoran, kealpaan manusia, membuat takdir itu tidak bisa dihindari. Membayangkan betapa penderitaan saat menghadapi jemputan Malaikat Maut yang memaksa Guru Honorer di daerah sulit akses Dusun Sukamade itu untuk mengikuti kemauannya. Pasti semua orang mengatakan suatu yang benar-benar sangat memilukan, tragis. Hanya mereka yang berhati batu saja yang tidak tersayat-sayat hatinya tatkala mendengar berita peristiwa itu.

Apalagi lagi bagi kawan-kawan seprofesi sebagai pendidik di manapun bertugas. Ika Widiastuti, 29, sosok semangat mengabdi yang terbaik di kampungnya. Dari keluarga yang kurang layak sisi ekonomi, rumahnya bahan gedek jebol-jebol sanggup menamatkan pendidikan S1. Dia memilih tetap tinggal ke kampung halaman untuk mengabdikan diri di sebuah SD negeri sebagai guru honorer, itu sebuah prestasi tersendiri. Saya yakin pekerjaan itu pilihan terbaiknya, sekalipun imbalannya tiap bulan tidak mbejaji disebut gaji. Sayang, perempuan kebanggaan keluarganya itu tidak sempat menikmati indahnya menyandang status sebagai seorang guru PNS harus meregang nyawa saat melahirkan bayi pertamanya. Ngenes, ngenes proses persalinannya tidak tertolong paramedis. Daya nalar sudah terjebak pada kondisi darurat satu-satunya solusi keterpaksaan harus diserahkan ke seorang dukun bayi. Bayinya selamat, sementara nyawa ibunya diminta kembali oleh Sang Khalik.

Berita menyedihkan ini, terjadi di bagian tanah Jawa yang viral dengan sebutan the sun rise of Java. Hari gini lagi di zaman milenial 4.0., masih ada orang ‘harus terpaksa’ mati lazim di era primitif. Jangan terus menyalah, salahnya sendiri Guru Ika memilih hidup di daerah sulit akses? Atau salah sendiri Guru Ika memilih menjadi seorang profesi guru? Gumaman itu jelas sangat menyakitkan. Pilihan profesi guru Ika itu sebuah kesadaran tinggi bahwa dirinya harus terlibat membangun daerahnya. Keputusan luar bisa bagi seorang putra daerah yang memiliki kesanggupan untuk berbakti pada tanah leluhurnya. Yang terjadi, umumnya pemuda-pemuda dari daerah pinggiran, apalagi sarjana akan memilih mencari pekerjaan di luar daerahnya yang lebih kota.

“Itu yang membuat saya sekaligus mewakili organisasi profesi PGRI merasa terpanggil untuk menyeru kepada pihak terkait agar menaruh rasa peduli dan empati terhadap nasib tragis yang menimpa keluarga Guru Ika. Salut juga kepada Awak media yang turut mengekspos berita mengenaskan ini ke publik.

Undang-undang guru nomor 14 tahun 2005 mengamanatkan pada pasal-pasalnya bahwa guru dalam menjalankan tugas dilindungi oleh UU, berarti juga dilindungi oleh negara. Perlindungan itu di antaranya perlindungan rasa aman jauh dari ancaman keselamatan fisik-psikis, saat menjalankan tugas profesi.

Lebih luas, pengertian jaminan rasa aman termasuk di dalamnya adalah rasa aman dari ancaman bahaya atas dirinya, misalnya kekurangan makan, kesehatan yang menjamin keselamatan dan serta terlindungi dari kegalauan ketidakpastian menghadapi masa depan diri dan keluarganya.

Saat banyak orang lagi hiruk-pikuk sibuk ngobos cari simpati citra diri untuk mewujudkan ambisi politiknya, kita harus tetap sadar, tidak boleh mati nurani, tidak boleh lembek rasa kepedulian dan rasa kemanusiaan. Jangan hanya melihat nyawa satu orang, Guru Honorer Ika. Jangan-jangan kondisi seperti itu ada pada fenomena gunung es, yang tidak sempat konangan lebih dari itu. Iangat, bahwa pengabdian Guru Ika di Sukamade, wujud hadirnya negara.

Penyelenggaraan pendidikan itu janji yang menjadi komitmen negara. Ini tragedi kemanusiaan yang dahsyat, tidak boleh diabaikan karena korbannya bukan seorang tokoh, bukan kalangan elit. Cukuplah Bu Guru Ika, bernasib ngenes. Ini boleh kita maknai sebagai sebuah teguran Tuhan. Tidak boleh terjadi lagi di Kabupaten kita yang sudah kadung kondang hingga mancanegara. Kabupaten yang full dengan gemuruh pujian atas prestasi yang tak terhitung saking banyaknya. Sudut-sudut ruang bangunan kantor Pemkab penuh dengan hiasan piala dan sanjungan. Tiap pekan dapat apresiasi, pejabat setingkat menteri hadir silih berganti. Betapa meraka akan kecewa berat jika mendengar di kota yang lagi viral sebagai kabupaten welas asih, kabupaten pariwisata bertaraf internasional ini, ada peristiwa yang sangat menganggu pikiran waras kita.

Melihat apapun tentang kelemahan dan kekurangan kita, cemoohan andaikan peristiwa ini dinilai sebuah keteledoran, tidaklah sebuah tindakan bijak dan solutif. Kita berikan masukan dan mungkin tawaran alternatif solusi cerdas untuk langkah mengantisipasi sehingga hal serupa tidak terulang. Silakan kecewa. Semua sudah terjadi. Suci Ika Widiastuti bayi yang lahir selamat dari rahim seorang guru honorer itu, diberi nama dan dirawat oleh neneknya, yang hidup di rumah tua berbahan gedek, kelak menjadi penerus semangat kepahlawanan ibunya. Ika Widiastuti telah sahidah di medan juang pendidikan, di tanah kelahirannya sendiri Sukamade, dusun sulit akses yang terjual laris sebagai destinasi wisata unggulan Banyuwangi. Sekalipun tidak didukung oleh bangunan infrastruktur yang memadai, tidak pernah sepi oleh turis domestik dan turis asing melihat keelokan pantai, hutan dan penangkaran penyu. Memang menjadi pejuang tidak selalu berakhir dengan happy ending dalam ukuran dunia. Kalaulah dia menerima nasib buruk itu karena sebuah keteledoran para pihak, Tuhan, tidak punya sifat keterbatasan. Jika dia ikhlas lillahi taata saat menjalankan tugas profesinya, janji Allah SWT, bagi siapapun yang sanggup mati dalam keadaan berjihad, syurga terindah jannatun naim hadiahnya.

Semoga peristiwa ini tidak menyurutkan semangat kawan-kawan yang telah memilih profesi guru di sana. Dan juga dalam kasus ini, tidak perlu menyalahkan siapa-siapa kecuali memaknai teguran Tuhan ini sebagai cara Tuhan mengajari kita untuk melakukan instrospeksi yang sehat dan sportif atas kebijakan, program-program yang (mungkin) kurang populis tetapi menunjukkan kesalahen seorang yang diberi amanah apa yang disebut pemimpin, bukan pejabat. Sekali lagi seorang pemimpin bukan pejabat, karena pemimpin itu wakil Tuhan di bumi, diharapkan benar-benar bisa memerankan itu. (*)

*Mochammad Rifai, Devisi Advokasi Profesi Guru PK PGRI Banyuwangi. Juga Kepala SMA Negeri ‘Taruna Santri’ Darussholah Singojuruh.

Komentar