Berita sidikkasus.co.id
BANYUWANGI – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melarang debt collector melakukan tindakan-tindakan yang berpotensi menimbulkan masalah hukum dan sosial saat melakukan penagihan pinjaman atau utang.
Debt collector pada prinsipnya bekerja berdasarkan kuasa yang diberikan oleh kreditur (dalam hal ini adalah lembaga keuangan/pembiayaan) untuk menagih utang kepada debiturnya. Adapun, perjanjian pemberian kuasa diatur dalam KUH Perdata.
Tindakan yang dilarang seperti menggunakan cara ancaman, melakukan tindakan kekerasan yang bersifat mempermalukan, hingga memberikan tekanan baik secara fisik maupun verbal.
“Bila hal tersebut dilakukan, bagi debt collector dapat dikenakan sanksi hukum pidana,” kata Selamet Solichin biasa disapa Mbah Semar selaku Dewan Penasehat Pusat (DPP) Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Patroli. Selasa, (11/6).
Sementara itu, untuk pelaku usaha jasa keuangan yang melakukan kerja sama dengan debt collector tersebut, dapat dikenakan sanksi oleh OJK berupa sanksi administratif mulai dari peringatan tertulis, denda, pembatasan kegiatan usaha, hingga pencabutan izin usaha.
POJK Nomor 22 Tahun 2023, yang menggantikan POJK Nomor 6 Tahun 2022 tentang Pelindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan
Yang dimaksud dengan “penagihan” adalah segala upaya yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan untuk memperoleh haknya atas kewajiban debitur untuk membayar angsuran, termasuk di dalamnya melakukan eksekusi agunan dalam hal debitur wanprestasi.
Dalam proses penagihan, pihak ketiga di bidang penagihan atau debt collector wajib membawa sejumlah dokumen, antara lain kartu identitas, sertifikat profesi di bidang penagihan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang pembiayaan yang terdaftar di OJK, surat tugas dari perusahaan pembiayaan, bukti dokumen debitur wanprestasi, serta salinan sertifikat jaminan Fidusia.
Sebagai informasi bahwa dalam. POJK ini disebutkan penagihan kredit atau pembiayaan tidak dapat dilakukan secara sembarangan. “Penagihan wajib dilaksanakan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat dan ketentuan peraturan perundang-undangan,”
Terdapat 7 aturan penagihan kredit dalam POJK Nomor 22 Tahun 2023:
1. Tidak menggunakan cara ancaman kekerasan atau tindakan yang bersifat mempermalukan konsumen. Contohnya, menyebarluaskan informasi mengenai kewajiban konsumen yang terlambat kepada kontak telepon yang dimiliki oleh konsumen.
2. Tidak menggunakan tekanan secara fisik maupun verbal.
3. Tidak menagih kepada pihak selain konsumen.
4. Tidak menagih secara terus-menerus yang bersifat menganggu.
5. Penagihan di tempat alamat domisili konsumen.
6. Penagihan hanya pada hari Senin sampai dengan Sabtu, di luar hari libur nasional, dari pukul 08.00 hingga 20.00 waktu setempat.
7. Untuk penagihan di luar tempat domisili konsumen dan pada waktu yang diatur di atas, hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan atau perjanjian dengan konsumen terlebih dahulu.
Pada prinsipnya POJK No. 22 tahun 23 ini adalah peraturan perlindungan konsumen terhadap petugas penagihan kredit bermasalah atau debt collector dan juga adanya Pasal 6 mengatakan bahwa IJK mendapatkan perlindungan hukum bila ada itikad tidak baik dari konsumen. [Apabila] konsumen niat mengemplang enggak berlaku ketentuan itu [penagihan] buat mereka [konsumen].”
Menurut Mbah Semar, seluruh dokumen tersebut digunakan untuk memperkuat aspek legalitas hukum dalam proses penagihan pinjaman, sehingga mencegah terjadinya dispute.
“Untuk konsumen, mereka juga harus komit untuk membayar kewajibannya sesuai dengan kontrak yang sudah ditandatangani. Hal ini penting agar tidak berurusan dengan debt collector,” kata Mbah Semar. (Jhoen SDK)
Komentar