Berita Sidikkasus.co.id
TERNATE | Kasus pembelian eks rumah dinas Gubernur Maluku Utara di Kelurahan Kalumpang, Ternate Tengah, kembali mencuat. Lembaga Pengawasan Indpenden (LPI) Maluku Utara menyebut aliran dana pembelian aset milik pemerintah senilai Rp.2,8 miliar ini sebagiannya diduga masuk ke kantong oknum kepala dinas.
Koordinator LPI Maluku Utara Rajak Idrus mengatakan, kasus pembelian eks rumah dinas gubernur merupakan perbuatan melawan hukum, termasuk tindak pidana korupsi.
Sebab, Pemerintah Kota Ternate, melalui dinas perkim membeli tanah kepada Noke Yapen sebagai pihak yang kalah di pengadilan.
Kekalahan Noke tertuang dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 191/K/pdt/2013.
“Kasus ini diduga menyeret Kepala Dinas Perkim Kota Ternate Rizal Marsaoly (sekarang menjabat Kepala BAPPELITBANGDA Kota Ternate). Rizal Marsaoly adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam kasus ini,” tandasnya, Senin (27/11).
Rajak menduga, keputusan Kejaksaan Negeri Ternate menghentikan kasus karena dugaan tukar guling.
“Kita hanya menduga saja. Karena di tahun 2023 ini Kejari Ternate mendapat hibah berupa pembangunan rumah dinas dan mes kejaksaan dari Pembangunan rumah dinas kejaksaan ini ini sudah jadi rahasia umum,” ujarnya.
Pembelian lahan ini sebelumnya disidangkan di Pengadilan Negeri Ternate 2012 lalu. Noke Yapen selaku Penggugat sertifikat kepemilikannya dinyatakan tidak sah atau ditolak alias kalah melawan Pemerintah Provinsi Maluku Utara sebagai tergugat.
Rumah dinas yang beli senilai Rp.2,8 miliar menggunakan APBD Kota Ternate ini berlanjut hingga Pengadilan Tinggi Maluku Utara dan Kejaksaan Agung RI.
Noke kembali kalah di Pengadilan Tinggi Maluku Utara. Upaya banding Noke ditolak. Pengadilan Tinggi Maluku Utara memutuskan dan menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Ternate Nomor 10/Pdt.G/2011/PN/Tte tertanggal 26 April 2012.
Kalah di tingkat pertama, Noke kemudian mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Berharap bakal menang, Noke justru pulang dengan tunduk kepala. Mahkamah Agung menolak permohonan kasasinya.
“Alasan apa sehingga Kejari Ternate hentikan. Tidak cukup bukti?, putusan pengadilan sudah sangat jelas. Artinya rumah dinas tersebut tidak dibenarkan dibeli karena itu aset pemerintah,” jelas Jeck, panggilan akrab Rajak Idrus. pada awak media ini. Senin (27/11/2023).
Menurut Jeck, ada beberapa poin yang kabur dalam kasus ini.
Pertama, Kejari Kota Ternate sengaja menutup-tutupi dengan pertimbangan Rizal Marsaoly adalah salah satu kepala dinas yang paling berpengaruh.
Kedua, anggaran pembebasan lahan dianggarkan melalui APBD Kota Ternate sebesar Rp 2,292 miliar.
Ketiga, pembayaran atau pembelian tidak berdasarkan perhitungan besaran ganti rugi nilai tanah atau NJOP sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat 1 dan 2 PP Nomor 65 Tahun 2006.
Keempat, pembayaran tidak sesuai yang dianggarkan.
“Anggarannya Rp 2,292 miliar, tapi dibayar hanya Rp1,292 miliar yang ditransfer ke rekening 026679xxxx BNI Cabang Manado atas nama Gerson Yapen. Ada dugaan Rp1 miliar masuk ke ‘popoje’ Rizal Marsaoly.
Tambah Jack. LPI Soroti anggtan 2,2 Meliar sebab uang itu di Anggarkan melalui APBD Kota Ternate.
Namun yang di bayarkan hanya 1.2 Meliar sekian. itu artinya ada kelibihan 1 Meliar Sekian.
Anggaran tersebut beruntukan untuk apa kan harus jelas.
Sebab Pembayaran Rumah Dinas Eks Gubernur yang terlatak di kalumpak itu cuman di bayar 1,2 Miliar.
Terkait status bangunan. Bagi LPI Maluku Utara itu sudah final. Karena masuk Aset Pemerintah Provinsi yang sudah di hibahkan oleh pemerintah Kota Ternate. Hal Tersebut di mediasi langsung oleh KPK sehingga terpasang lah papan Nama di muka kediaman Eks Gubernur.
Disatu sisi masaallah ini.sudah proses melalui kejari ternate. Namun sampai saat ini kejari ternate tidak pernah ekspos ke publik bahkan informasi yang kami kafer secara diam diam kejari ternate akan lakukan SP3 tanpa ada keterangan Jelas.
Maka dari itu, Saya minta Kejaksaan Tinggi Maluku Utara segara Koorcek dan berkooordinasi dengan kejari ternate sehingga harus jelas ini semua.
LPI Maluku Utara tetap Kawal bukan hanya di kejaksaan tapi juga di kejagung RI dan KPK.
“Karna KPK sendiri yang mediasi soal aset dan pasti tahu juga aliran dananya kemana.” tutur Jeck. (Jek/Redaksi)
Komentar