3 Walhi Sulteng,Sultra, Sulsel Bersatu Lawan Perusahaan Nikel, Pemerintah Tidak Transparan

Berita sidikkasus.co.id

JAKARTA – Gabungan Tiga Organisasi Lingkungan Hidup di Sulawesi, yaitu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah, Walhi Sulawesi Selatan dan Walhi Sulawesi Tenggara — lagi-lagi menyuarakan keprihatinan mereka terhadap hilirisasi nikel. Aliansi itu menilai pemerintah tidak jujur dan terbuka mengenai berbagai persoalan dan dampak negatif hilirisasi nikel di Tanah Air, khususnya di daerah-daerah penghasil nikel seperti Sulawesi.

“Pernyataan Presiden Joko Widodo tentang keberhasilan pemerintah membuat banyak lapangan pekerjaan dari sektor industri nikel sangatlah tidak benar bila kita bandingkan dengan daya rusak industri nikel yang mengakibatkan ribuan, bahkan puluhan ribu petani dan nelayan, kehilangan mata pencaharian.

Demikian pernyataan Direktur WALHI Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amin, Kamis (24/8).

Ia menanggapi Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo yang disampaikan dalam Sidang Tahunan MPR RI pada 16 Agustus 2023.

“Saat ini, dari data yang kami peroleh, menunjukkan bahwa angka kemiskinan di Pulau Sulawesi, ladang nikel terbesar dan salah satu pusat nikel di dunia, masih sangat tinggi. Bahkan setelah adanya hilirisasi nikel,” jelas Al Amin.

 

Ia melanjutkan, keberadaan industri nikel menyebabkan kerusakan ekosistem hutan hujan, sungai, danau, hingga pesisir dan laut yang selama ini menjadi sumber penghasilan masyarakat lokal yang berprofesi sebagai petani dan perkebunan.

Presiden Joko Widodo dalam Sidang Tahunan MPR pada Rabu (16/8) mengatakan sejak dihentikannya ekspor bijih (ore) nikel pada 2020, investasi hilirisasi nikel di Indonesia tumbuh pesat.

Kini sudah terdapat 43 industri pengolahan nikel yang akan membuka peluang kerja yang sangat besar.

Aliansi Sulawesi menyatakan hampir seluruh aktivitas tambang nikel di Sulawesi dilakukan tanpa memperhatikan aspek perlindungan bagi keanekaragaman hayati. Perusahaan-perusahaan tambang yang menyuplai bijih nikel ke smelter-smelter nikel di Sulawesi telah berkontribusi dalam menghancurkan hutan yang secara langsung juga menghancurkan rumah bagi bagi hewan-hewan endemik Sulawesi.

“Masalah ini sama sekali tidak disampaikan oleh Presiden dalam pidatonya. Presiden hanya melihat hilirisasi sebagai lapangan kerja dan pemasukan negara dari pajak. Presiden sama sekali tidak melihat hutan hujan dan ekosistem lainnya yang setiap hari rusak akibat tambang nikel. Presiden tidak melihat adanya penghancuran keanekaragaman hayati akibat hilirisasi nikel,” ungkap Direktur WALHI Sulawesi Tenggara, Andi Rahman.

Menurut Andi, berdasarkan catatan dan kajian Aliansi Sulawesi, pemerintah telah menerbitkan 188 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di dalam kawasan hutan di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Kabupaten Konawe dan Konawe Utara, Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Morowali dan Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Adapun luas kawasan hutan yang dikorbankan untuk menyuplai bijih nikel ke smelter-smelter nikel di Sulawesi itu mencapai 372.428 hektare.

 

Aliansi Sulawesi melaporkan hilirisasi mineral nikel di Indonesia saat ini didomisasi oleh perusahaan-perusahaan China yang mencapai sekitar 80 persen. Perusahaan-perusahaan smelter China tersebut, menurut aliansi itu, perlu dievaluasi karena abai terhadap dampak lingkungan dan sosial

“Di Sulawesi kami mencatat berbagai krisis air bersih yang dialami oleh masyarakat yang berada dalam lingkaran smelter dan tambang nikel, seperti yang terjadi di Pulau Wawoni, Sulawesi Tenggara. Saat ini masyarakat harus mengonsumsi air berwarna merah kecoklatan akibat lumpur tambang nikel,” kata Andi.

“Aliansi Sulawesi menemukan rata-rata perusahaan smelter di Sulawesi tidak memiliki standar dan sistem pengelolaan limbah yang baik. Akibatnya, sungai, danau dan laut di Sulawesi tercemar limbah. Bahkan ada beberapa sungai dan danau di Sulawesi tercemar logam berat jenis kromium heksavalen yang melebihi ambang batas baku mutu,” imbuhnya.

 

Aliansi Sulawesi Terbarukan Desak Penuntasan Dugaan Penyelundupan Biji Nikel ke China
Dihubungi secara terpisah, Humas PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Dedy Kurniawan kepada VOA, Selasa (22/8,) mengatakan pihaknya telah melakukan berbagai upaya untuk meminimalkan dampak lingkungan dari aktivitas smelter nikel, di antaranya dengan memasang Electrostatic precipitator (ESP) untuk menyaring debu pada sekitar 150 cerobong PLTU dan smelter, membuat 17 kolam pengendapan lumpur (settling pond) dan memanfaatkan teknologi daur ulang air.

“Jadi air yang kami gunakan di sini itu kami olah kembali, kami punya WTP (water treatment plant) untuk mengolah air yang sudah kami gunakan, diolah kembali untuk kami gunakan kembali,” kata Dedy.

Selain itu pihaknya telah melakukan penghijauan di kawasan pantai dengan menanam lebih dari 100 ribu bibit mangrove, dan di kawasan IMIP dengan menanam 6.000 pohon untuk mereduksi karbon monoksida.

Ekskavator dan truk terlibat dalam operasi penambangan nikel di Pomalaa, Sulawesi Tenggara.
Dari sisi ekonomi kehadiran PT IMIP, menurut Dedy, memunculkan 15 ribu usaha mikro warga berupa kios sembako, usaha jasa laundry, penginapan, dan warung makan.

Lebih jauh Dedy mengungkapkan, di dalam kawasan IMIP terdapat 500 perusahaan kontraktor lokal yang mempekerjakan hampir 40 ribu karyawan. IMIP juga menjalin kerja sama dengan 12 Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) di Kecamatan Bahodopi yang memasok kebutuhan sembako untuk karyawan di dalam kawasan PT IMIP. Logistik bahan makanan tersebut berasal dari hasil kegiatan pertanian, nelayan dan peternak di dalam dan di luar wilayah Kabupaten Morowali.

“Kami melatih warga di beberapa desa untuk membangun usaha pertanian sayur mayur dan buah-buahan, dan hasilnya memang masuk, dijual di kawasan IMIP,” jelas Dedy.

Hingga Agustus 2023 karyawan IMIP terdiri dari 76 ribu orang tenaga kerja lokal, dan 10 ribu tenaga kerja asing asal China. Jumlah ini di luar jumlah karyawan yang dipekerjakan perusahaan-perusahaan kontraktor lokal maupun usaha-usaha lokal yang dinaungi bumdes. (*)

Komentar