Berita sidikkasus.co.id
LAMPUNG TIMUR – Saksi fakta pada persidangan ke-8 kasus perobohan papan bunga yang digelar di PN Sukadana, Lampung Timur, Muhaidin Arifin, menegaskan bahwa pengiriman papan karangan bunga yang mengatasnamakan Tokoh Adat Lampung Timur ke Polres Lampung Timur beberapa waktu lalu adalah sesuatu yang tidak tepat. Muhaidin Arifin, yang merupakan Ketua Tokoh Adat se Lampung Timur periode 2015-2018 ini menyatakan amat menyayangkan pengiriman papan bunga dengan mencatut kata ‘Tokoh Adat’ ke Mapolres tersebut.
Hal itu disampaikan Muhaidin Arifin, Tokoh Adat terkemuka Lampung Timur yang bergelar Suttan Juragan Suttan, di depan Majelis Hakim dalam kapasitasnya sebagai saksi fakta yang diajukan Penasehat Hukum Wilson Lalengke, Selasa, 7 Juni 2022. “Penegasan itu perlu saya sampaikan karena selama ini ada keberatan dari banyak pihak terkait tindakan pengiriman papan karangan bunga ucapan selamat dan sukses ke Polres Lampung Timur dengan mengatasnamakan Tokoh Adat Buay Beliuk Negeri Tua yang seolah-olah kami sebagai Tokoh Adat se Lampung Timur ikut mendukung hal tersebut. Padahal, kami para Tokoh Adat Lampung Timur tidak pernah mengirimkan papan bunga semacam itu ke Polres, apalagi isinya terkesan melecehkan kalangan wartawan,” ungkap Suttan Juragan St. yang sering dihadirkan untuk memandu acara adat di tingkat Provinsi Lampung ini kepada awak media usai memberikan kesaksiannya di persidangan yang mendudukkan Wilson Lalengke dan dua rekannya, Edi Suryadi dan Sunarso, sebagai pesakitan dalam kasus tersebut.
Dari pantauan wartawan di ruang sidang, Suttan Juragan menyampaikan bahwa dirinya berada di lokasi kejadian pada saat peristiwa itu, Jumat, 11 Maret 2022. “Yaa, saya berada di lokasi kejadian,” ujar Tokoh Adat Suttan Juragan menjawab pertanyaan Ketua Majelis Hakim, Diah Astuti, S.H., M.H.
Ketika Majelis Hakim menanyakan keperluan Suttan Juragan di lokasi kejadian, Tokoh Adat Lampung Timur itu menceritakan kronologi kedatangannya ke Mapolres Lampung Timur. “Saya pada hari Jumat tanggal 11 maret 2022 sekitar pukul 8.30 saya dengan kawan saya Hasan Basri tiba di Desa Nyampir, berniat untuk membesuk Indra bersama-sama dengan mertua Indra. Di saat kami berada di Desa Nyampir saya suruh teman saya untuk menghubungi keluarga Indra via telpon, jawabnya mereka masih di Sekampung, lalu kami berbalik arah menuju Sekampung, ke rumah mertua Indra. Sesampainya kami di situ, kami ketemu dengan mertua Indra yang perempuan, istri dari Bapak Sayuti. Beliau mengatakan bapaknya baru saja berangkat ke Polres bersama rombongan pimpinan Indra. Lalu kami berbalik arah lagi menuju Polres Lampung Timur. Sesampainya kami di Polres, sudah banyak wartawan. Lalu saya bertanya ke salah satu wartawan, ada apa ini? Mereka menjawab ada perobohan papan bunga. Saya bertanya lagi dengan mereka, siapa yang merobohkan? Mereka menunjuk ke Bapak Wilson Lalengke yang saat itu berdiri di lobby Kantor Polres sedang menunggu kehadiran Kapolres. Selang beberapa menit ada dua mobil yang datang, satu mobil patwal satu mobil warna hitam. Kata wartawan yang ada di situ Bapak Kapolres. Lalu wartawan pada mau masuk untuk meliput, lalu saya berkata pada wartawan yang mau meliput, saya bilang sudah gak usah banyak rasan, kita ngopi saja. Lalu mereka ikut saya ke warung kopi sekitar sepuluh orang. Selesai kami ngopi, kami keluar dari warung menuju halaman Polres, saya liat mobil Polres sudah tidak ada. Tidak lama kemudian Bapak Wilson serta kawannya keluar dari ruang Polres menuju halaman Polres dan berdiri di depan tiga karangan bunga yang ada di halaman Polres sambil diwawancara oleh para wartawan di situ. Saya sempat bertanya dengan beliau, Pak kenapa Bapak merobohkan ini, kata beliau saya khilaf, ini di luar dugaan saya karena saya capek, saya ngantuk. Lalu saya tanya lagi, Pak Wilson tujuannya apa Bapak merobohkan ini, lalu beliau menjawab supaya tidak banyak dibaca orang. Saya pikir, menurut saya, ini orang hebat maka saya ajak photo bersama. Sesudah itu saya diajak kawan saya sholat Jumat. Selepas Jumat saya pulang,” urai Suttan Juragan panjang lebar.
Ketika ditanya apakah saksi melihat papan bunga yang dirobohkan, Tokoh Adat Suttan Juragan menjawab tidak melihatnya. Ia juga menjelaskan kepada Majelis Hakim bahwa dirinya tiba di tempat kejadian pada pukul 10.00 wib lewat.
Saat Majelis Hakim mempertanyakan eksistensi dan legalitas Muhaidin Arifin sebagai Tokoh Adat Lampung Timur, Suttan Juragan St. menjelaskan tentang keberadaan Tokoh Adat di Lampung Timur yang didaftarkan di lembaga pemerintah, yakni di Kesbangpol dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Suttan Juragan juga memperlihatkan dokumen-dokumen legalitas dirinya sebagai Tokoh Adat yang di-SK-kan oleh Gubernur Lampung, kepada Majelis Hakim dan JPU.
Selain itu, Suttan Juragan juga menambahkan informasi bahwa pada tahun 2017, atas kesepakatan bersama para tokoh adat dari 9 (sembilan) kebuayan atau komunitas adat di Lampung Timur, telah diberikan gelar adat kepada para pimpinan Forkompinda. “Atas kesepakatan bersama para tokoh adat, pada tahun 2017 kami memberikan gelar adat kepada semua pimpinan lembaga yang tergabung dalam Forkompinda, yakni Bupati, Ketua DPRD, Kajari, Ketua Pengadilan Negeri, Kapolres, dan Dandim. Ada semua gelar adatnya yang diberikan para Tokoh Adat Lampung Timur,” beber Suttan Juragan pada sidang yang juga dihadiri Ketua Tokoh Adat Lampung Timur, Sofyan Subing, itu.
PH Wilson Lalengke, Advokat Ujang Kosasih, S.H., kemudian mengajukan pertanyaan kepada saksi Muhaidin Arifin, apakah benar papan bunga itu merupakan kiriman dari Tokoh Adat? Suttan Juragan menjawab dengan tegas, “Tidak benar, karena kami Tokoh Adat tidak pernah mengirimkan papan bunga itu.”
Lalu siapa yang mengatasnamakan Tokoh Adat, tanya PH lagi. Atas pertanyaan itu, Suttan Juragan menjawab tidak tahu. “Saya tidak tahu, mungkin penyimbang adat,” ujarnya.
Suttan Juragan kemudian menjelaskan perbedaan tokoh adat dengan penyimbang adat saat Advokat Ujang Kosasih menanyakan perbedaan antara tokoh adat dengan penyimbang adat. “Penyimbang adat sama tokoh adat beda. Kalau tokoh adat itu seseorang yang sudah melakukan prosesi adat atau begawi dan punya gelar Suttan. Namanya penyimbang adat, wilayah kekuasan hanya desa tempat dia tinggal itu saja. Kalau dia gelar pangeran, belum penyimbang adat, tapi adik penyimbang. Kalau tokoh adat, yang terpenting dia punya gelar Suttan, Pangiran, Rajo, Ratu, dan diakui gelarnya oleh seluruh tokoh adat dari semua kebuayan, serta dia mengerti tentang prosesi adat, bahasa adat, silsilah adat, dan tata-titi adat.
Lalu, PH bertanya lagi kepada saksi, bagaimana cara kerja tokoh adat kalau ada suatu masalah. Suttan Juragan St. menjelaskan bahwa tokoh adat harus melakukan musyawarah terlebih dahulu.
“Harus mengundang tokoh adat dari 9 kebuayan, yakni: Unyai, Unyi, Subing, Nuban, Selagai, Kunang, Beliuk, Anak Tuha, dan Nyerupa. Karena sifatnya tokoh adat bersama polisi melindungi dan mengayomi, bukan memecah-belah, tapi mendamaikan. (TKA/TIM/Red)
Komentar